By
: Anik Suhari
Fera,
gadis cantik berusia 20 tahun yang memiliki seribu tekad untuk bisa kuliah
seperti halnya teman-temannya, yang dapat menikmati setiap detik dengan
belajar, setiap hari mengenakan baju rapi, namun hal itu tidak dengan Fera. Ia
terlahir dari keluarga kecil, sejak lahir tidak pernah bahkan tidak bisa
memandang wajah ayahnya. Sebab, ayahnya sudah meninggal ketika ia masih berada
dalam kandungan ibunya. Fera dibesarkan ibunya yang hanya sebatang kara
mempertahankan kondisi untuk membesarkan Fera, sekaligus menjadi tulang
punggung demi kelangsungan hidupnya. Ibunya bekerja serabutan, dengan rasa
syukurnya yang berlimpah Allah Swt slalu mencukupkan penghasilannya untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari juga biaya sekolah Fera.
Ketika
Fera duduk di bangku SMA kelas 3, musibah menimpanya, ibunya tercinta meninggal
karena sakit jantung. Kondisi keluarga yang apa adanya, tidak mampu mengobati
penyakitnya karena biaya Rumah Sakit
yang begitu mahal. Dan kini Ibu yang menjadi tolak kehidupan bagi Fera
telah tiada untuk selama-lamanya. Ketika itu Fera sangat terpukul dan berat
hati ditinggal Ibunya pergi untuk selama-lamanya. Taqdir sudah berkata hal itu,
dan Fera hanya bisa mengikhlaskan dengan berat rasa, semoga Ibunya berada
dintara sisi terbaik-Nya. Setelah Ibunya meninggal, Fera tinggal bersama
neneknya yang juga hanya sebatang kara.
Masa
belajar di SMA Harapan Bangsa sebentar lagi selesai, dan Fera akan menempuh
ujian Nasional. Di samping itu juga sudah dibebani pikiran akan melanjutkan
kuliah dimana nantinya, sedangkan Fera berada di tengah-tengah keluarga yang
tidak mampu, entah bisa melanjutkan kuliah apa tidak. Namun Fera tidak patah
semangat, apapun keadaannya ia harus kuliah, tekadnya begitu besar. Sebab, ia
sudah berjanji kepada ibunya untuk menjadi seorang sarjana, meskipun ia berada
dikeluarga yang tidak mampu.
Ujian
Nasional dan ujian-ujian lainnya satu persatu terlewati. Tibalah sekarang momen
yang sangat ditunggu-tunggu siswa, yaitu wisuda. Ketika itu, tidak ada siapapun
yang menghadiri wisudanya. Betapa sakitnya hati ketika melihat orang lain bisa
bersama dengan orang tuanya saat acara wisuda, sedangkan Fera hanya mampu
memandangnya dengan sebuah ilusi. Tapi tidak apa-apa, hal itu tidak membuat
Fera untuk meresahkan momen wisudanya. Berkat usaha dan doa terbaiknya, Fera
menjadi wisudawan terbaik disekolahnya dan mendapat peringkat pertama Ujian
Nasional di sekolahnya. Dengan hasil tersebut ia hadiahkan untuk Ibunya yang
sudah meninggal dan disampaikannya ketika pidato perwakilan siswa di depan
khalayak. Cucuran air mata kebahagiaan, khalayak juga merasakan kesedihan yang
Fera sampaikan. Namun, hal itu tidak menjadi kelegaan bagi Fera, sebab masih
ada banyak mimpi yang harus ia gapai.
Masuklah
dimana situasi teman-teman Fera sedang membingungkan hati untuk menempuh kuliah
dimana. Sedangkan Fera hanya pasrah dengan keadaan, neneknya yang sebatang kara
itu juga bekerja serabutan, “mana mungkin
bisa membiayai kuliahku”, ujarnya. Pada akhirnya Fera tidak banyak meresahkan
keadaan, mau tidak mau ia harus bekerja untuk biaya kuliahnya nanti. Fera
bekerja disebuah pabrik yang ada di kotanya, setiap hari berangkat pagi pulang
malam, demi merenggut nasibnya yang tak berujung. Sekitar tiga bulan ia
bekerja, nenek yang slalu menemani Fera, kini menyusul kematian. Fera tidak
bisa berbuat apa-apa lagi, orang-orang disekitarnya yang ia sayangi perlahan
pergi meninggalkannya. Setelah neneknya meninggal, ia tinggal bersama bibinya
yang berada di kota seberang. Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi, dan
hanya bibinyalah orang satu-satunya yang bisa menemani Fera, meskipun bibinya
sendiri juga tidak begitu dekat dengan keluarga Fera dahulu.
Memasuki
tahun ke dua, sudah lama ia bekerja. Namun, hasrat ingin kuliah masih saja
muncul di benak Fera. Ia juga slalu ingat akan janjinya kepada Ibunya untuk
menjadi seorang sarjana. Ketika meminta izin kepada bibinya bahwa ia akan
kuliah, bibinya seketika itu mengeraskan pembicaraannya untuk melarang Fira
untuk kuliah, karena kondisi keluarga bibinya yang pas-pasan tidak cukup
apabila untuk membiayai Fera kuliah. Bahkan Fera diancam bibinya, jika nekad
tetap kuliah maka bibinya tidak segan-segan akan mengusirnya dari rumah. Fera
yang berada di tengah-tengah harapan dan kepatuhan. Namun, Fera akan tetap
bersama tekadnya untuk menjadi seorang sarjana.
Ketika
dibukanya pendaftaran kuliah melalui jalur SBMPTN, ia mencoba dengan berbekal
satu buku panduan yang sudah kumal lembaran-lembarannya. Buku itupun ia dapat
dari tempat rongsokan. Setiap hari ia belajar, mencoba mengerjakan soal-soal
SBMPTN. Karena bobot soal SBMPTN yang dianggap sulit, setiap ia mengerjakan per
soal, ia menangis sebab tidak bisa mengerjakannya. “Ya Allah bagaimana bisa aku lolos di PTN yang aku mimpikan, sedangkan
untuk mengerjakan soal-soalnya saja aku tidak bisa”, ucapnya disertai tangisan
kecil. Tibalah hari tes seleksi, SBMPTN pun berlangsung. Fera mengerjakan
sebisa mungkin dengan harapan Allah Swt memberikan hasil terbaik untuknya.
Sembari
menunggu hasil tes seleksi, Fera mengisi waktu luangnya dengan bekerja
serabutan. Kadang memulung barang-barang bekas, kadang jadi tukang cuci di
tempat tetangganya, bersih-bersih balaidesa, dan pekerjaan lainnya yang Fera
mampu mengerjakannya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut ia selesaikan dengan senang
hati, sebab dibalik kerja kerasnya ada harapan yang harus ia wujudkan. Dengan
hasil kerjanya setiap hari ia tabung untuk biaya kuliah nantinya.
Suatu
ketika, Fera meminta izin dan memantapkan hati bibinya untuk yang kedua
kalinya, agar Fera dibolehkan tetap bisa kuliah. Namun, bibinya tetap
mengatakan dengan perkataan yang sama. Fera terpukul seolah kesempatan kuliah
tidak ada pada dirinya, dengan menangis dan merenungi nasibnya kemudian Fera
bertekad hati untuk mengatakan, “Ya
Allah, jika aku ketrima di PTN yang selama ini aku harapkan, aku akan ngafalin
Qur’an”. Ucapan ringan namun tersirat tanggung jawab yang sangat berat
tersebut telah terucap sebagai nadzarnya.
Tepat
28 Mei, dimana tanggal pengumuman tes seleksi SBMPTN. Sebelum membukanya, Fera
tidak banyak-banyak berharap, sebab ia percaya Allah Swt pasti menghendaki
kebaikan yang ada pada diri hambanya. Dibukalah pengumuman tersebut dan
bertuliskan bahwa ia ketrima di PTN yang selama ini menjadi harapannya.
Kebungahan yang tiada tara, kini Fera bisa kuliah seperti halnya
teman-temannya, meskipun ia telat dua tahun. Berita baik itu ia sampaikan
kepada bibinya, tidak menjadi kebahagiaan namun menjadi tangisan. Justru
bibinya malah mengusirnya dari rumah, bibinya tidak mau menanggung biaya
kuliahnya. Sesuatu yang seharusnya menemani kesenangan hati malah menjadi
permasalahan bagi Fera. Fera diusir dari rumahnya, dan ia kembali ke rumah
neneknya yang dulu, meskipun hidup sebatang kara. Dengan keadaannya yang
seperti itu, Fera tetap menuai tekadnya untuk kuliah.
Beberapa
hari kemudian Fera mengurus semua biaya registrasi dengan uang hasil kerja
kerasnya selama ini. Namun menjadi terbengkelai lagi, uang yang akan dibayarkan
kurang 300rb, darimana Fera mendaptkan uang tersebut sedangkan tanggal
pembayaran sudah kurang dua hari. Dengan sisa waktu dua hari tersebut Fera
bekerja ke sana ke mari demi mendapatkan uang kurangannya. Tepat hari terakhir
pembayaran, uang sudah terkumpul tanpa ada kekurangan. Kemudian Fera
membayarkannya melalui bank terdekatnya. Betapa bahagianya, ketika harapan
terwujud menemani kenyataan hidup. Fera tidak lupa dengan ikrarnya bahwa Ia
akan menghafal Al-Qur’an. Dengan itu, sembari menunggu masuk hari perkuliahan,
ia mengisi waktunya dengan menghafal Al-Qur’an dengan Ustadzah di kampongnya,
juga bekerja serabutan di sekitarnya.
Mimpi
dan harapan harus besar, sebab kita punya Allah Swt yang Maha Agung. Yang mampu
membesarkan impian kecilmu. Semua itu dapat kita raih bersama dengan kerja
keras dan doa-doa terbaik yang setiap kali kita panjatkan. Berlarilah, dan
jemputlah mimpimu..
Yakinlah bahwa Allah selalu bersama kalian, hehe bagus kak cerita nya
BalasHapusTunggu cerita part II ya kak. sering2 main ke blog. Semoga meningkatkan rasa syukur setelah baca kisahnya orang lain, karena ada yang lebih susah daripada diri kita 😊
Hapus