Antara Cita-cita dan Problematika (Part II) - Risalah Kuliahku

Berbagi info tugas kuliah, Kata bijak, Motivasi dan Inspirasi, Internet, Komputer

Senin, 26 Februari 2018

Antara Cita-cita dan Problematika (Part II)


Antara Cita-cita dan Problematika (Part II)
By: A.S

Waktu berjalan hingga sepertiga malam, tanpa alarm berbunyi Fera terbangun untuk memanjakan harapannya kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Berjalanlah menuju sumur kecil yang ada di belakang rumahnya dan mengambil air wudlu. Seketika tahajud dilaksanakan, disertai doa-doa terbaiknya yang terdengar oleh hamparan langit, ia tidak pernah meminta apa-apa, ia hanya meminta semua yang terjadi pada dirinya dalam keadaan baik-baik saja. Selesai tahajud, kemudian dilanjutkan dengan menambah hafalannya dan mengulang-ulang hafalan sebelumnya. Karena disepertiga malamlah waktu yang mustajab untuk menghafal atau belajar. Setiap hari Fera menambah hafalannya, karena ia slalu mengingat bahwa nadzar yang ia ikrarkan sebelumnya merupakan amanat sekaligus rizqi yang harus dijaga.
Detik demi detik berlalu, suara ayam yang bercorak itu memenuhi telinganya. Pertanda bahwa seluruh makhluk akan terbangun dari lelapnya. Dan tibalah kumandang adzan subuh yang terdengar dari surau di selatan kampungnya. Fera bergegas untuk mendirikan sholat Subuh. Setelah sholat, dilepaslah mukenanya kemudian diletakannya ke dalam lemari. Setelah ditutupnya pintu lemari, mata Fera tertuju pada sebuah kalender yang letaknya dekat dengan lemari. Memandangnya dengan senang, karena dua hari lagi ia akan berangkat ke perantauan untuk belajar, dimana tempat tersebut yang selama ini menjadi impiannya.
Mentari memang tidak selalu menampakkan sinarnya. Kadang ia terus terang, kadang menghilang. Itulah kehidupan, yang semestinya wajib dijalani dan harus disyukuri. Problematika akan slalu melekat pada diri manusia, tanpa dihindari ia pun akan slalu mengikuti. Tinggal manusianya berada pada jiwa-jiwa yang kuat atau yang lemah. Mampu menyelesaikan dengan berat hati atau senang hati. Semua itu, manusialah yang menjadi motor penggerak dirinya sendiri.
Hari pun berlalu, koper berisi baju-baju sudah tertata dengan rapi. Tas ransel yang berisikan beberapa buku dan Al-Qur’an itu menopang di pundak Fera. Seorang diri membawa koper dan segala macamnya, berdiri di tepi jalan untuk memberhentikan bis menuju kota perantauan. Karena tidak ada siapa-siapa, Fera tetap semangat walaupun berangkat seorang diri. Beberapa jam perjalanan, sampailah ke terminal. Karena menuju Universitas masih jauh, jadi Fera harus naik angkutan umum menuju ke sana. Sesampainya di sana, betapa bahagianya gadis ini, pertama kali melangkahkan kaki ke gerbang Universitas yang ia harapkan selama ini. Bersyukur atas kesempatan-Nya untuk merasakan indahnya mencari ilmu di Perguruan Tinggi terkemuka.
Beberapa hari kemudian, aktivitas perkuliahan berjalan dengan baik. Fera pun tidak menyangka akan merasakan hal itu. Untuk bisa belajar ke jenjang perguruan tinggi sebenarnya masih dianggapnya sebuah mimpi. Dan saat itu ia masih belum percaya dengan kenyataan, padahal dengan kuasa Allah Swt segala hal pasti bisa terwujud. Bersamaan waktu kuliah, Fera juga mengisi sela-sela waktu luangnya untuk bekerja di sekitarnya. Tanpa memperduakan kewajibn utamanya, yaitu menghafal dan belajar. Fera dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan tidak sedikitpun mengganggu kuliahnya. Beberapa bulan berjalan, hingga memasuki bulan ke empat, uang saku dan hasil kerjanya setiap hari kian menipis. Buku-buku yang wajib dibelinya dan segala cetak tugas yang menguras kantong membuat Fera resah. Pada akhirnya, Fera bersiasat untuk tidak kuliah selama dua minggu, kemudian dia pulang dan kembali bekerja serabutan di tempat asalnya dahulu. Uang terakhir yang membuatnya bingung untuk pulang, karena uangnya hanya cukup untuk ongkos bis dari terminal ke rumahnya. Sedangkan dari kampus menuju terminal ia tempuh dengan jalan kaki, padahal jarak dari kampus ke terminal berkisar 15 kilometer. Kadang ia menumpang di bak mobil-mobil yang kosong, dengan susahnya kenyataan hidup ia tidak pernah mengeluh.
Beberapa hari di rumah, bekerja ke sana ke mari demi menjemput dolar untuk uang saku dihari selanjutnya. Dua minggu berlalu, waktunya kembali ke tempat perantauan. Sesampainya di terminal untuk menuju ke kampus ia bersiasat untuk jalan kaki. Jarak yang begitu jauh ia tempuh dengan dua kaki, wajah lelah menghampirinya, namun ia tetap bergegas demi sampai di asrama. Setengah jalan ia lalui, tiba-tiba ada bapak berkumis tipis berbaju rapi yang menghampirinya, dan mengajak Fera untuk memasuki mobilnya dengan tujuan bapak tersebut ingin menumpangi Fera menuju kampus, yang kebetulan bapaknya tidak sendirian. Bapak tersebut bersama anak perempunnya yang kebetulan melewati asrama Fera.
Pagi yang indah, seindah harapan yang menjadi nyata. Secuil harapan yang larut dalam kenikmatan untuk sepatutnya disyukuri. Hari-hari perkuliahan telah terlewati, waktu berliku begitu cepat. Memasuki masa pengisian Kartu Rencana Studi yang membuat Fera jatuh bingung kembali. Untuk semester dua yang akan dating, ia sama sekali tidak memiliki biaya untuk membayar UKT, tanpa berfikir panjang ia memilih cuti dan ingin bekerja kembali untuk bisa melanjutkan kuliahnya. Suatu hari, Fera mendatangi ruang wali dosennya yang berada di ujung gedung Megawati. “Tok..tok..tok, Assalamu’alaikum..”, kemudian Bu Surtinah mempersilahkan masuk dan menyuruhnya untuk duduk. “Saya ingin ambil cuti saja di semester dua ini bu, saya tidak bisa membayar UKT. Saya harus pulang dan bekerja terlebih dahulu untuk bisa melanjutkan kuliah. Semoga ibu memahami apa yang saya alami”. Tanpa bertutur panjang bu Surtinah langsung mengatakan bahwa beliaulah yang akan membayarkan UKT nya Fera. Dengan maksud bu Surtinah tidak ingin ada mahasiswa dampingannya yang berhenti kuliah hanya karena biaya.
Seketika itu Fera meneteskan air mata kebahagiaan atas pertolongan-Nya yang tiada henti-hentinya. Berterimakasih atas kenikmatan yang diberikan melalui bu Surtinah. Selain itu, bu Surtinah juga memberi tempat tinggal. Fera menjadi kakak asuh anaknya bu Surtinah, menemani belajar, mengaji, dan aktivitas lainnya yang bermanfaat. Walaupun imbalan yang tidak seberapa, setidaknya Fera bisa makan sehari-hari dan memiliki tempat tinggal.
Perjuangan pahit yang dulu sering menggores hati, kini perlahan sirna. Kepahitan hidup yang berhasil dimaniskan dengan tekad dan perjalanannya yang bertubi-tubi jatuh, atas kepatuhannya kepada Allah Yang Maha Kuasa kini berlimpah kebaikan-kebaikan yang ada pada dirinya. Setiap lelahnya perjuangnmu yang disertai doa-doa terbaik, maka Allah akan memanjakan setiap harapanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar