By:
A.S
Waktu
berjalan hingga sepertiga malam, tanpa alarm berbunyi Fera terbangun untuk
memanjakan harapannya kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Berjalanlah menuju sumur
kecil yang ada di belakang rumahnya dan mengambil air wudlu. Seketika tahajud
dilaksanakan, disertai doa-doa terbaiknya yang terdengar oleh hamparan langit,
ia tidak pernah meminta apa-apa, ia hanya meminta semua yang terjadi pada
dirinya dalam keadaan baik-baik saja. Selesai tahajud, kemudian dilanjutkan
dengan menambah hafalannya dan mengulang-ulang hafalan sebelumnya. Karena
disepertiga malamlah waktu yang mustajab untuk menghafal atau belajar. Setiap
hari Fera menambah hafalannya, karena ia slalu mengingat bahwa nadzar yang ia
ikrarkan sebelumnya merupakan amanat sekaligus rizqi yang harus dijaga.
Detik
demi detik berlalu, suara ayam yang bercorak itu memenuhi telinganya. Pertanda
bahwa seluruh makhluk akan terbangun dari lelapnya. Dan tibalah kumandang adzan
subuh yang terdengar dari surau di selatan kampungnya. Fera bergegas untuk
mendirikan sholat Subuh. Setelah sholat, dilepaslah mukenanya kemudian
diletakannya ke dalam lemari. Setelah ditutupnya pintu lemari, mata Fera
tertuju pada sebuah kalender yang letaknya dekat dengan lemari. Memandangnya
dengan senang, karena dua hari lagi ia akan berangkat ke perantauan untuk
belajar, dimana tempat tersebut yang selama ini menjadi impiannya.
Mentari
memang tidak selalu menampakkan sinarnya. Kadang ia terus terang, kadang
menghilang. Itulah kehidupan, yang semestinya wajib dijalani dan harus
disyukuri. Problematika akan slalu melekat pada diri manusia, tanpa dihindari
ia pun akan slalu mengikuti. Tinggal manusianya berada pada jiwa-jiwa yang kuat
atau yang lemah. Mampu menyelesaikan dengan berat hati atau senang hati. Semua
itu, manusialah yang menjadi motor penggerak dirinya sendiri.
Hari
pun berlalu, koper berisi baju-baju sudah tertata dengan rapi. Tas ransel yang
berisikan beberapa buku dan Al-Qur’an itu menopang di pundak Fera. Seorang diri
membawa koper dan segala macamnya, berdiri di tepi jalan untuk memberhentikan
bis menuju kota perantauan. Karena tidak ada siapa-siapa, Fera tetap semangat
walaupun berangkat seorang diri. Beberapa jam perjalanan, sampailah ke
terminal. Karena menuju Universitas masih jauh, jadi Fera harus naik angkutan
umum menuju ke sana. Sesampainya di sana, betapa bahagianya gadis ini, pertama
kali melangkahkan kaki ke gerbang Universitas yang ia harapkan selama ini.
Bersyukur atas kesempatan-Nya untuk merasakan indahnya mencari ilmu di
Perguruan Tinggi terkemuka.
Beberapa
hari kemudian, aktivitas perkuliahan berjalan dengan baik. Fera pun tidak
menyangka akan merasakan hal itu. Untuk bisa belajar ke jenjang perguruan
tinggi sebenarnya masih dianggapnya sebuah mimpi. Dan saat itu ia masih belum
percaya dengan kenyataan, padahal dengan kuasa Allah Swt segala hal pasti bisa
terwujud. Bersamaan waktu kuliah, Fera juga mengisi sela-sela waktu luangnya
untuk bekerja di sekitarnya. Tanpa memperduakan kewajibn utamanya, yaitu
menghafal dan belajar. Fera dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan tidak
sedikitpun mengganggu kuliahnya. Beberapa bulan berjalan, hingga memasuki bulan
ke empat, uang saku dan hasil kerjanya setiap hari kian menipis. Buku-buku yang
wajib dibelinya dan segala cetak tugas yang menguras kantong membuat Fera resah.
Pada akhirnya, Fera bersiasat untuk tidak kuliah selama dua minggu, kemudian
dia pulang dan kembali bekerja serabutan di tempat asalnya dahulu. Uang
terakhir yang membuatnya bingung untuk pulang, karena uangnya hanya cukup untuk
ongkos bis dari terminal ke rumahnya. Sedangkan dari kampus menuju terminal ia
tempuh dengan jalan kaki, padahal jarak dari kampus ke terminal berkisar 15
kilometer. Kadang ia menumpang di bak mobil-mobil yang kosong, dengan susahnya
kenyataan hidup ia tidak pernah mengeluh.
Beberapa
hari di rumah, bekerja ke sana ke mari demi menjemput dolar untuk uang saku
dihari selanjutnya. Dua minggu berlalu, waktunya kembali ke tempat perantauan.
Sesampainya di terminal untuk menuju ke kampus ia bersiasat untuk jalan kaki.
Jarak yang begitu jauh ia tempuh dengan dua kaki, wajah lelah menghampirinya,
namun ia tetap bergegas demi sampai di asrama. Setengah jalan ia lalui,
tiba-tiba ada bapak berkumis tipis berbaju rapi yang menghampirinya, dan
mengajak Fera untuk memasuki mobilnya dengan tujuan bapak tersebut ingin
menumpangi Fera menuju kampus, yang kebetulan bapaknya tidak sendirian. Bapak
tersebut bersama anak perempunnya yang kebetulan melewati asrama Fera.
Pagi
yang indah, seindah harapan yang menjadi nyata. Secuil harapan yang larut dalam
kenikmatan untuk sepatutnya disyukuri. Hari-hari perkuliahan telah terlewati,
waktu berliku begitu cepat. Memasuki masa pengisian Kartu Rencana Studi yang
membuat Fera jatuh bingung kembali. Untuk semester dua yang akan dating, ia
sama sekali tidak memiliki biaya untuk membayar UKT, tanpa berfikir panjang ia
memilih cuti dan ingin bekerja kembali untuk bisa melanjutkan kuliahnya. Suatu hari,
Fera mendatangi ruang wali dosennya yang berada di ujung gedung Megawati. “Tok..tok..tok, Assalamu’alaikum..”,
kemudian Bu Surtinah mempersilahkan masuk dan menyuruhnya untuk duduk. “Saya ingin ambil cuti saja di semester dua
ini bu, saya tidak bisa membayar UKT. Saya harus pulang dan bekerja terlebih
dahulu untuk bisa melanjutkan kuliah. Semoga ibu memahami apa yang saya alami”.
Tanpa bertutur panjang bu Surtinah langsung mengatakan bahwa beliaulah yang
akan membayarkan UKT nya Fera. Dengan maksud bu Surtinah tidak ingin ada
mahasiswa dampingannya yang berhenti kuliah hanya karena biaya.
Seketika
itu Fera meneteskan air mata kebahagiaan atas pertolongan-Nya yang tiada
henti-hentinya. Berterimakasih atas kenikmatan yang diberikan melalui bu
Surtinah. Selain itu, bu Surtinah juga memberi tempat tinggal. Fera menjadi
kakak asuh anaknya bu Surtinah, menemani belajar, mengaji, dan aktivitas
lainnya yang bermanfaat. Walaupun imbalan yang tidak seberapa, setidaknya Fera
bisa makan sehari-hari dan memiliki tempat tinggal.
Perjuangan
pahit yang dulu sering menggores hati, kini perlahan sirna. Kepahitan hidup
yang berhasil dimaniskan dengan tekad dan perjalanannya yang bertubi-tubi
jatuh, atas kepatuhannya kepada Allah Yang Maha Kuasa kini berlimpah
kebaikan-kebaikan yang ada pada dirinya. Setiap lelahnya perjuangnmu yang
disertai doa-doa terbaik, maka Allah akan memanjakan setiap harapanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar